Senin, 29 Agustus 2011

Perspektif Dokter Muslim

*Tulisan ini saya buat ketika saya ditugaskan untuk menulis sebuah essay oleh dekan FK UII mengenai perspektif dokter muslim.
Dewasa ini, pelayanan kesehatan di Indonesia masih memegang peranan yang sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sehingga banyak dari mereka menaruh kepercayaan yang besar terhadap institusi-institusi atau pelaksana kesehatan, seperti dokter contohnya. Banyak diantara para dokter tersebut yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi dan berwawasan sangat luas , tetapi sangat jarang para dokter yang dibekali dengan keterampilan dan wawasan luas ditambah dengan iman dan taqwa kepada Allah SWT seperti yang ada pada diri seorang dokter muslim. Saya yakin bahwa dua poin tambahan penting itulah—iman dan taqwa—yang sekarang jarang tapi sangat dibutuhkan oleh para dokter sehingga nantinya terciptalah apa yang disebut dokter muslim .
Suatu nilai yang sama pentingnya dengan wawasan sains yang luas dari seorang dokter muslim yang pertama itu adalah iman. Iman adalah meyakini keberadaan Allah SWT seutuhnya. Tanpa iman, seorang dokter akan merasa cenderung melakukan hal-hal yang menyimpang. Hal yang dimaksud adalah kurangnya kepekaan sosial dan ketidakjujuran, khususnya dalam menangani pasien dan masyarakat pada umumnya. Seorang dokter muslim yng memiliki keimanan  yang teguh akan selalu merasa bahwa pekerjaan atau tugas yang diembannya adalah bukan karena kewajiban sebagai dokter biasa semata , akan tetapi ia pun sadar bahwa tugasnya itu adalah salah satu amanat dari Allah SWT yang harus bisa dipertanggungjawabkan nantinya. Jadi dimanapun dan kapanpun ia berhadapan dengan masyarakat maka seorang dokter muslim itu pasti akan selalu bijaksana dan menjaga nilai-nilai islami dalam kehidupan sehari-harinya.
Jika iman sudah terbentuk maka secara otomatis ketaqwaan dalam diri seorang dokter tersebut akan muncul. Yang dimaksud dengan ketaqwaan disini adalah melaksanan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. Dokter muslim dengan bekal keimanan yang disertai ketaqwaan itu harus mampu melaksanakan kewajibannya sebagai umat islam, salah satunya adalah sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagai praktik dalam kehidupan sehar-hari , seorang dokter muslim harus bersikap jujur dalam pekerjaannya dan sebaliknya harus meninggalkan sifat tercela, yaitu berbohong atau terlebih lagi merugikan pasien misalnya.
Jadi, beberapa karakter yang seharusnya ada dalam diri seorang dokter muslim adalah memiliki kecerdasan, berwawasan luas,terampil, beriman, dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dimana kecerdasan,berawasan luas, dan keterampilan itu yang pantas mewakili sifat dari kata “dokter” dan 2 poin lainnya – Iman dan taqwa—itu yang merupakan ciri khas dari kata “muslim” tersebut.
 Sekian Pendapat Saya...hehe

Minggu, 28 Agustus 2011

Semua Tergantung pada Niat Awal Kita


Mungkin, ini adalah sebuah langkah awal saya membuat tulisan. Dalam tulisan yang pertama ini, saya ingin memberi beberapa gambaran apa yang  seorang “Ridwansyah iid” pikirkan ketika memasuki bangku kuliah baru setelah kuliah pertama di UI tahun 2010 itu terhenti.
Banyak orang bertanya-tanya, “kenapa sih lo pindah ke UII Jogja yang notabene nya kan itu perguruan tinggi swasta?”  dan saya pun punya banyak alasan untuk menjelaskan mengpa saya pindah ke Jogja. Lebih uniknya , saya acapkali memberi alasan yang berbeda kepada setiap orang yang bertanya. Hehe..
Alasan pertama saya pindah ke UII yang paling pokok adalah karena cita-cita saya ingin menjadi seorang dokter muslim. Mengapa saya ingin menjadi dokter? Apakah karena mengejar gengsi belaka? Padahal,mahal sekali kuliah kedokteran itu, apalagi swasta?atau ingin cepat mendapatkan pekerjaan yang enak dan cepat kaya?walaupun kita juga mengetahui sendiri bahwa ribuan dokter menganggur tidak jelas setelah lulus. Apalagi saya cuma anak dari seorang single parent yang hanya berprofesi sebagai pegawai swasta di Jakarta, rasanya kurang kerjaan dan sangat kejam sekali saya jika tujuan saya menjadi dokter hanya sekadar menggapai hal-hal tersebut.
Dari sebelum saya diterima menjadi mahasiswa kedokteran, saya selalu berpikir bagaimana saya bisa menolong pengobatan orang –orang tidak mampu yang sedang sakit, sedangkan dimana-mana kita lihat kebanyakan rumah sakit dan dokter itu menuntut rupiah yang jarang sekali dapat terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Saya selalu berandai-andai, andaikan saya menjadi dokter, mempunyai rumah sakit besar, terampil dalam menangani pasien, dan berbagai penyakitnya , alangkah senang dan tentramnya kehidupan saya bisa menolong mereka.
Oleh karena itu, disini saya sangat siap jika ditakdirkan untuk menjadi dokter “GEMBEL”. Saya siap untuk tidak bermewah-mewahan dan saya siap untuk tidak mempunyai rumah megah dan mobil mewah. Tapi dalam artian bukan saya akan menolak jika diberi amanah/titipan berupa kemewahan oleh Allah. Poinnya adalah saya siap untuk menggratiskan mereka, para orang-orang sakit yang tidak mampu membayar biaya pengobatannya dan saya tidak main-main dengan ucapan saya.
 Keluarga saya selalu menasihati, “kalo mau duitnya “kenceng” itu jadi dokter spesialis ini , spesialis itu, kerja disini,disitu, dan sebagainya”. Dan saya pun hanya bisa mengiyakan nasihat-nasihat mereka, padahal jauh di dalam benak saya selalu saya khawatirkan bahwa nantinya mungkin saya tidak seperti yang mereka harapkan – seorang dr. Ridwansyah hidup bergelimangan harta.
Saya punya alasan juga mengapa saya berpikiran kesana. Saya hanya ingin hidup saya ini benar-benar berkah. Orang kaya sudah banyak, orang pintar sudah banyak, orang sukses lebih banyak lagi, tapi hanya sedikit orang yang mempunyai kepedulian tinggi kepada sesama. Saya percaya kalau saya memikirkan dan peduli kepada banyak orang maka Allah pun pasti akan memikirkan dan peduli kepada saya. Prioritas utama saya adalah menolong sesama dan menomorduakan kehidupan mewah saya nanti. Tapi saya yakin dibalik tujuan saya ini ada sesuatu yang mungkin tidak keluarga saya pikirkan yaitu, saya ingin mengangkat derajat dan nama keluarga saya. Hal itu tidak bisa saya mungkiri karena saya sebagai anak dari keluarga broken home dan single parent  ingin bisa membuktikan bahwa saya dengan kekurangan dan tanpa dukungan seorang ayah pun bisa sukses dan meraih apa yang saya cita-citakan. Bukan berarti kekurangan yang saya miliki ini lantas menyurutkan semangat saya untuk menggapai cita-cita saya.
Lalu, alasan saya terakhir, mengapa saya pindah ke Perguruan Tinggi Swasta adalah karena saya ingin menunjukan bahwa dengan tidak kuliah di PTN pun saya bisa sukses dan mengalahkan mereka yang kuliah di PTN. Saya juga siap “bersaing” dengan mereka, sebagaimana di dalam Al-quran menyebutkan “…fastabiqul khairot…” yang artinya berlomba-lombalah dalam hal kebaikan.hehee..
Sebenarnya saya kuliah menjadi mahasiswa kedokteran pun memiliki niatan untuk melakukan sebuah penelitian, tulisan , dan karya-karya lainnya, tidak hanya melulu tentang praktik di lapangan. Dalam lingkup yang luas, Saya mempunyai misi yang cukup berat dan bisa dibilang cukup sulit diwujudkan tanpa kerja keras dan kerjasama dari berbagai pihak. Misi saya salah satunya adalah mengembangkan ilmu kedokteran di Indonesia sehingga Indonesia tidak hanya terkenal terdepan dalam pengobatan, akan tetapi juga terdepan dalam ilmu pengetahuan kedokteran atau kesehatan.Dan goal yang lebih spesifik, saya juga mau memberikan kontribusi untuk perguruan tinggi dimana tempat saya menggali ilmu dan tempat saya mengembangkan diri. Bahkan saya juga siap jika diminta atau merasa terpanggil untuk mengisi kekosongan sebagai tenaga pengajar.
Mengenai satu hal yang selalu saya ingat adalah SEBAIK-BAIKNYA MANUSIA ADALAH MANUSIA YANG BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN. Itu yang selalu saya camkan baik-baik dan saya rasa hanya dengan mempraktikan hal itu yang akan membuat diri saya merasa TIDAK RUGI telah mengeluarkan ratusan juta untuk menjadi seorang dokter.